Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

K.H AHMAD DAHLAN: PENDIDIKAN

SETTING SOSIAL-KEAGAMAAN

Awal Kebangkitan

dunia Islam    

Terjajah Pasrah Fatalistik Lari ke Mistik/ Supranatural    

Benci dengan semua

yang ‘berbau’ penjajah  



TUJUH FALSAFAH AJARAN

1. “Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh:

sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan? Dan ulama’-ulama’ itu dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramalpun semuanya dalam kekhawatiran, kecuali mereka yang ikhlas atau bersih”


2. “Kebanyakan diantara para manusia berwatak angkuh, dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri”.


3. “Manusia itu kalau mengerjakan apapun, sekali, dua kali, berulangulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut kenyakinan atau itiqad, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar”


4. “Adakah engkau menyangka, bahwasannya kebanyakan manusia suka mendengarkan atau memikir-mikir mencari ilmu yang benar?” (Al-Furqon:44)


5. “Manusia tidak menuruti, tidak mempedulikan sesuatu yang sudah terang bagi dirinya. Artinya, dirinya sendiri, pikirannya sendiri, sudah mengatakan itu benar, tetapi ia tidak mau menuruti kebenaran itu karena takut kepada kesukaran, takut berat dan macam-macam yang dikhawatirkan, karena nafsu dan hatinya sudah terlanjur rusak, berpenyakit akhlaq (budi pekerti), hanyut dan tertarik oleh kebiasaan buruk”


6. “Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah”.


7. “Pelajaran terbagi dalam dua bagian: (1) Belajar ilmu (pengetahuan dan teori); (2) Belajar amal (mengajarkan, mempraktekkan). Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat, demikian pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah


Haluan Agama

Orang yang beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya kepada Allah, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkorban baik dengan harta benda dan diri, serta bekerja dalam kehidupan mereka untuk Allah. 

“Sikap beragama yang lurus kepada Allah itu adalah kecenderungan rohani untuk berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, tidak terikat dengan bendawi, dan selalu berusaha menaikkan derajat rohani. Jiwanya akan selalu menghadap Allah dan berpaling dari hal selain-Nya, bersih tanpa terpengaruh oleh apapun dan senantiasa menyerahkan harta benda dan dirinya di jalan Allah”.


“Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Allah menghendaki nya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.”


“Kamu tidak mau menjalankan tugas amal itu karena kamu tidak biasa, bukan? Beruntunglah! Marilah saya ajarkan soalnya itu. Jadi kalau sudah dapat dan mengerti kamu harus menjalankan. Dan soalnya kalau kamu tidak mau, asal tidak mau saja.  Siapakah yang dapat mengatasi orang yang sengaja sudah tidak mau.”

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan mengawali langkahnya dengan membuka Madrasah Ibtida’iyah Diniyah Islamiyah pada tanggal 1 Desember 1911 di ruang tamu rumah beliau sendiri. Murid-murid sekolah itu adalah kerabat K.H. Ahmad Dahlan. Dia pula yang menjadi gurunya. Awalnya ada 9 orang murid. Menginjak bulan keenam, jumlah murid sudah hampir 20 orang. Rumah K.H. Ahmad Dahlan setiap Minggu pagi didatangi oleh para siswa Kweekschool yang akan diberi pelajaran agama Islam. Mereka terdiri dari siswa-siswa Islam, Kristen, Katolik, Theosofi, dan lain-lain. Seorang siswa antara lain pernah bertanya, “Kiai, apakah di sini tempat bersekolah? Sekolah apakah ini?”. “O, Nak, ini Madrasah Ibtida’iyah Islam untuk memberi pelajaran agama Islam dan pengetahuan umum bagi anak-anak Kampung Kauman.” “Siapakah yang menjadi gurunya, Kiai?” “Saya”. “Sekolah ini dipegang oleh Kiai sendiri sehingga jika Kiai meninggal dunia dan ahli waris tidak mampu meneruskan maka sekolah ini akan berhenti. Saya usul, hendaknya sekolah ini dipegang oleh suatu organisasi sehingga dapat terus hidup selamanya.” K.H. Ahmad Dahlan terharu mendengar perkataan siswa tersebut. Beliau bertanya, “Organisasi apakah itu?” Jawab sang siswa, “Organisasi yang disusun sebagai badan yang sah sesuai izin pemerintah Hindia Belanda. Misalnya perkumpulan Budi Utomo yang sekarang sudah berdiri di Yogyakarta!” K.H. Ahmad Dahlan menyatakan, “Itu baik sekali dan saya akan mengingatnya dengan baik.”




· “Ulama-Intelek” atau “Intelek-Ulama”.

· Memadukan dua sistem pendidikan yang berlaku waktu itu, sekolah (seperti yang dikelola Belanda) dan pesantren.

· Misi: memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri dimana agama dan pengetahuan umum bersamasama diajarkan.

CITA-CITA: PENDIDIKAN INTEGRAL


“Suatu saat Kiai Ahmad Dahlan bertanya kepada anak-anak muda perempuan Muhammadiyah; “apakah kamu tidak malu jika auratmu dilihat kaum lelaki?” 

Anak –anak muda perempuan itu serentak menjawab bahwa mereka akan malu sekali jika hal itu terjadi 

Kiai Ahmad Dahlan lalu berkata; “jika kau malu, mengapa jika kau sakit lalu pergi ke dokter laki-laki; apalagi ketika hendak melahirkan anak. 

Jika kau benar-benar malu, hendaknya kau terus belajar dan belajar dan jadilah dokter sehingga akan ada dokter perempuan untuk kaum perempuan”


Pentingnya Mendayagunakan Akal

• K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik yang sangat menghargai dan menekankan pendidikan akal. Beliau berpendapat bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Tetapi seringkali, akal tidak mendapat perhatian yang semestinya, seperti biji yang terbenam dalam bumi. Karena itulah maka pendidikan harus memberikan siraman dan bimbingan yang sedemikian rupa sehingga akal manusia dapat berkembang dengan baik. Hal ini penting karena menurut K.H. Ahmad Dahlan akal merupakan instrumen penting untuk memahami dan mendalami agama.

• Untuk mengembangkan pendidikan akal K.H. Ahmad Dahlan menganjurkan diberikannya pelajaran ilmu mantiq di lembaga-lembaga pendidikan.


Pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia dari pada makanan yang mengisi perutnya, dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan.





MATERI PENDIDIKAN

· Pendidikan moral, akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan al- Qur‟an dan as-Sunnah.

· Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha menumbuhkan kesadaran individu yang utuh dan seimbang antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dengan akhirat.


· Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat


Metode: Kontekstual

K.H. Mas Mansur, salah seorang murid dan teman seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan menjelaskan: “KHA. Dahlan gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Kalau menafsirkan sebuah ayat, beliau selidiki lebih dahulu tiap-tiap perkataan dalam ayat itu satu demi satu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh perkataan itu di dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau sesuaikan dengan keadaan hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta tepat”.


Metode: ‘Amal Ilmiah

Dalam kuliah subuh, K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan surat al-Ma’un secara berulang-ulang. Karena tidak tahan dengan apa yang dilakukan oleh gurunya, H. Soedja memberanikan diri bertanya: “Mengapa pelajarannya tidak ditambah?” Mendengar pertanyaan tersebut K.H. Ahmad Dahlan balik bertanya: “Apa kamu sudah mengerti betul?” H. Soedja menjawab bahwa dirinya sudah hafal. K.H. Ahmad Dahlan bertanya lagi: “Apa kamu sudah mengamalkannya?” H. Soedja mengatakan bahwa dirinya telah mengamalkannya dengan cara membacanya dalam shalat. Pengalaman yang demikian ternyata dianggap salah oleh K.H. Ahmad Dahlan. Kemudian beliau menunjukkan bagaimana mengamalkan surat al-Ma’un tersebut dengan menyuruh para muridnya pergi ke pasar untuk mendapatkan orang-orang miskin kemudian membawanya pulang dan memberinya bantuan.


Metode: Dialog

Suatu ketika, K.H Ahmad Dahlan terlibat dalam percakapan dengan seorang murid baru sebelum memulai pelajaran, “kalian mau pengajian apa?” Sang murid berkata, “Begini, Kiai. Biasanya kalau pengajian yang kami tahu dan selama ini kami ikuti itu bahannya dari guru ngajinya”. “Kalau begitu, nanti yang pintar hanya guru ngajinya”, jawab KHA Dahlan sambil meletakkan biola. “Para murid mengikuti guru saja, apakah kalian mau yang seperti itu?” ketiganya menggelengkan kepala. “Kalau pengajian disini, kalian yang menentukan apa yang ingin kalian ketahui. Dimulai dengan bertanya. Pertanyaan itu kunci gerbang untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan”.

ETOS GURU-MURID

Etos guru adalah kesediaan untuk memberikan ilmu dan teladan yang baik.

Etos murid ialah kesediaan untuk selalu terbuka agar bisa mengakui dan belajar pada kebaikan orang lain


“Mula-mula agama Islam itu cemerlang, kemudian makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu manusianya, bukan agamanya. Agama bukanlah barang yang kasar. Artinya, ajaran yang mencocokkan kesucian manusia. Sesungguhnya agama bukanlah agama lahir yang dapat dilihat, amal lahirnya itu adalah bekas dan daya dari ruh agama.”


“Him, agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak vorm (pegangan)-nya, dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan teyeng (karat), sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung. Oleh karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan-kawan di sekitarku itu banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui bahwa alat-alat yang dipegang dan dimiliki itu dapat digunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu.

Maka perlulah kamu mesti berani meminjam untuk memperbaikinya. Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada di sekitar kamu itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang-orang yang terpelajar yang mereka itu tidak tahu memahami agama Islam. Padahal, mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu Muslim juga.Karena banyak mereka itu memang daripada keturunan kaum muslimin, malah ada yang keturunan dari penghulu-penghulu dan kiai-kiai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya sehingga mereka mengenal kita, dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima”


Apa saja yang bisa membuat orang

Islam yang baik, juga bisa membuatnya

menjadi warga negara yang baik.


Kita dapat mengukur kemiripan kita

dengan Nabi dengan melihat kepekaan

kita terhadap penderitaan sesama.

Keislaman bukan hanya Allah ada di dalam jiwamu tetapi kehidupan Islam menjadi nyata melalui perilakumu


Kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas orang Islam

Tolong-menolong adalah sikap orang Islam dalam aksi