Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

FORGIVENESS / PEMAAFAN

Forgiveness/Pemaafan: Proses yang terjadi secara sengaja dan sukarela, saat seorang ‘korban’ mengalami perubahan dalam perasaan dan perilaku terhadap yang berbuat salah, menyisihkan emosi-emosi negatif, seperti dendam, dan semakin mampu berharap agar ‘yang berbuat salah’ itu baikbaik saja. (the intentional and voluntary process by which a victim undergoes a change in feelings and attitude regarding an offense, lets go of negative emotions such as vengefulness, with an increased ability to wish the offender well).

Pemaafan berbeda dengan condoning (tidak menganggap satu perbuatan keliru dan perlu dimaafkan), excusing (tidak menganggap yang bersalah harus bertanggung jawab atas perbuatannya), forgetting (menyingkirkan kesadaran akan kesalahan dan yang bersalah), pardoning (memiliki hak untuk “menyakiti/menyalahi” dari lembaga/nilai yang dipandang sah, misalnya oleh hakim atau pemangku adat), dan reconciliation (memulihkan hubungan).



“MAAF”: DI MULUT ATAU TINDAKAN?

Menurut J.L. Austin, tindak wicara dibagi menjadi dua: 

1. Pernyataan konstatif: pernyataan tentang sesuatu dengan apa adanya, hanya menyentuh definisi dan deskripsi tanpa melibatkan aksi.  

2. Pernyataan performatif: pernyataan yang tak hanya kata-kata tapi juga dibarengi dengan tindakan. Dalam konteks maaf: maaf tidak hanya pernyataan atas fakta secara apa adanya, tetapi ia harus disertai penyesalan sekaligus tindakan.

MISCONCEPTIONS

1. Pemaafan diartikan melupakan kesalahan yang terjadi dan menganggap tidak pernah terjadi apa apa 

2. Pemaafan dipandang sebagai simbol kelemahan 

3. Pemaafan merupakan sesuatu yang sifatnya ‘tidak adil’ 

4. Maaf hanya untuk mereka yang ‘dekat’ dengan kita atau mereka yang ingin dimaafkan. 

4. Pemaafan itu bisa cepat dan mudah dilakukan 

5. Pemaafan berarti membolehkan perilaku yang tidak seharusnya.

MENGAPA HARUS MEMAAFKAN?

1. Pemaafan membuatn kita bebas dari pengaruh merusak kemarahan dan dendam 

2. Pemaafan membuat kita bebas dari luka masa lalu dan memahami masa depan dengan perspektif baru 

3. Pemaafan membawa kesembuhan kesatuan kembali, kehidupan Bersama yang baru 

4. Pemaafan membuat kita mengelola hidup secara lebih realistis tanpa terpenjara oleh rasa sakit kita 

5. Pemaafan membuktikan kita masih manusia, yang tidak hanya butuh memaafkan, namun juga dimaafkan 

6. Pemaafan memungkinkan kita memperoleh energi lebih banyak (yang selama ini kita gunakan untuk menahan luka dan sakit hati) untuk mewujudkan harapan dan masa depan

MENGAPA TIDAK MEMAAFKAN?

· Memaafkan itu menunjukkan kelemahan, “mengabaikan tuntutan agama dan tanggung-jawab moral” 

· Memaafkan itu membuat seseorang terjebak dalam ‘permainan kuasa’. 

1. Membuat yang memaafkan posisi kuasanya lebih tinggi/superior (karena memegang kendali permaafan). 

2. Menunjukkan yang memaafkan posisi kuasanya lebih rendah/inferior (Karena tidak berani ‘melawan’). 

· Pemaafan itu bertentangan dengan keadilan dan membuat keadilan tidak dianggap penting. 

· Pemaafan itu bertentangan dengan karakter alami kita sebagai manusia.


RANAH PERMAAFAN

KOGNITIF: Orang yang tersakiti tidak lagi menyalahkan dan merencanakan balas dendam. Ia sadar bahwa mereka punya alasan untuk berpikir negatif, namun lebih memilih untuk tidak melakukannya. Mereka lebih melihat orang yang menyakiti secara positif, misalnya berharap orang yang menyakiti itu sadar dan berubah menjadi baik. 

AFEKTIF: Semua emosi negative seperti marah, dendam, sedih disisihkan, diubah dengan emosi yang lebih netral dan positif, seperti penuh harapan dan kasih sayang 

BEHAVIOR: Tidak lagi ingin melakukan sesuatu sebagai balas dendam. Lebih focus melakukan hal-hal yang positif.  


KEUNTUNGAN MEMAAFKAN

• Mengurangi Depresi 

• Mengurangi Kegelisahan 

• Mengurangi Rasa Marah 

• Mencegah balas dendam yang merusak & rangkaian “kezalimaan” 

• Meningkatkan kualitas hubungan antar manusia 

• Meningkatkan kebanggaan diri




PROSES MEMAAFKAN

· Disengaja 

· Bersifat “ongoing process” 

· Butuh waktu, bahkan kadang terjadi sepanjang hayat. 

· Butuh upaya dan tidak mudah. 

· Bersifat aktif, tidak pasif. 

· Berawal dari ‘dalam’ dan tampak manifestasinya ‘di luar’ 

· Membutuhkan perubahan dalam perilaku


FASE PERMAAFAN: “ENRIGHT‟S MODEL”

Robert Enright, Forgiveness is a Choice

• Uncovering phase: menekankan pemahaman dan pengungkapan atas rasa „sakit‟ yang dialami. 

• Decision phase: Mulai mempertimbangkan untuk memaafkan  dengan segala konsekuensi positif-negatifnya. 

• Work phase: Mengubah sudut pandang dan berusaha memahami dan memaklumi terhadap orang yang menzalimi. 

• Deepening phase: Mulai memutuskan, menyadari bahwa ia tidak sendiri, setiap orang termasuk dirinya juga butuh dimaafkan sehingga perlu juga untuk memaafkan. 


VARIABEL PENDUKUNG PEMAAFAN

1. Empati 

2. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya 

3. Tingkat “luka”

4. Karakteristik Kepribadian 

5. Kualitas Hubungan

KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 1

Keadilan: Punishment Morality 

“Aku percaya bahwa keadilan harus ditegakkan oleh yang memiliki otoritas menghukum”


Pemaafan: Revengeful Forgiveness

“Aku dapat memaafkan orang yang menzalimiku hanya jika aku bisa menghukum orang tersebut sehingga dapat merasakan sakit yang pernah kurasakan”


KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 2

Keadilan: Individualism 

“Segala sesuatu ada timbal baliknya. Kalau engkau membantuku, aku akan membantumu.”  


Pemaafan: Conditional or Restitutional Forgiveness

“Kalau apa yang diambil dariku dikembalikan, akan kumaafkan”


KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 3

Keadilan: Mutual Interpersonal Expectations 

“Menurutku, biarlah masyarakat yang menentukan apa yang benar dan salah. Akuakan ikut saja, sehingga masyarakat tidak membenciku.”


Pemaafan: Expectational Forgiveness 

 “Aku akan memaafkan kalau masyarakat menuntutku untuk memaafkan. Aku akan memaafkan sesuai harapan masyarakat”


KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 4

Keadilan: Social System and Conscience 

“Aku hanya bertindak sesuai hukum (Sosial-Politik), sehingga masyarakat teratur”


Pemaafan: Lawful Expectational Forgiveness 

 “Aku maafkan karena agama memerintahkan.” 

“Aku maafkan karena tuntutan pengadilan/ hukum/ adat”


KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 5

Keadilan: Societal Contract 

“Aku tahu setiap orang memiliki pandangan sendiri, sesuai dengan kelompoknya, meskipun demikian ada beberapa nilai (seperti kehidupan, kebebasan, persaudaraan dan lain sebagainya) harus dipedomani tanpa peduli pendapat mayoritas.”

Pemaafan: Forgiveness as Social Harmony 

“Aku memaafkan  sebab hal itu akan mengembalikan harmoni social. Pemaafan akan mengurangi friksi dan konflik social.”


KEADILAN DAN PEMAAFAN: LEVEL 6

Keadilan: Universal Ethical Principles 

 “Keadilan menurutku dibutuhkan untuk menjamin hak-hak individu di tengah masyarakat.”


Pemaafan: Forgiveness as Love 

“Aku memaafkan karena hal itu akan menghasilkan kasih-sayang yang sejati. Karena aku harus benar-benar peduli terhadap setiap orang dan tidak menyakiti siapapun.”  Hubungan ini membuka kemungkinan rekonsiliasi dan sama sekali menutup pintu balas dendam.


MEMAAFKAN DIRI YANG SALAH

• RESPONSIBILITY: mengakui telah melakukan kesalahan, serta siap bertanggung-jawab sebagai akibatnya. 

• REMORSE: menyesal dan me’rasakan’ bersalah, sekaligus memunculkan tekad untuk memperbaiki atau tidak mengulangi. 

• RESTORATION: kesediaan untuk memperbaiki, mengembalikan, memulihkan kembali, kepada orang yang disakiti/disalahi. 

• RENEWAL: memaafkan diri sendiri, berpikir dan bertindak serta tidak terpenjara oleh kesalahan di masa lalu.


DERRIDA: MAAF YANG BERSYARAT MEMAAFKAN YANG TAK TERMAAFKAN

• Maaf yang bersyarat, bagi Derrida, bukanlah sebenar-benar maaf. Ia sejatinya adalah transaksi, timbal-balik ekonomis, yang dengan satu dan lain cara punya daya tawar politis tertentu, lebih-lebih jika ia mengharuskan adegan-adegan penyesalan (“scenes of repentance”) 

• Maaf itu menjadi bersyarat karena ia diberikan hanya jika yang tersalah melakukan permintaan maaf (apology, excuse), pengakuan (confession), penyesalan (repentance), dan/atau penebusan (penance, redemption). 

• Maaf yang murni, adalah maaf yang diberikan secara unconditional. Di sini maaf merengkuh asosiasi maknanya yang tak-bisa-dipisahkan (indissociable), yaitu memberi (for-give, pardonner), bukan meminta atau menuntut.

• Orang sebenarnya tak benar-benar sedang memaafkan ketika yang ia maafkan adalah hal-hal yang dengan mudah termaafkan atau ‘bisa-dimaafkan’. Ironisnya, biasanya yang begitu ingin dimaafkan justru adalah hal-hal yang-tak-termaafkan, yakni ketika suatu kejahatan sudah terlalu kejam untuk ‘sekadar’ dimaafkan. Tapi justru saat berhadapan dengan kejahatan yang terlalu kejam untuk—dan karena itu tak bisa—dimaafkan itulah, maaf, kalau benar ia tak mustahil terjadi, menjadi murni. Di sinilah aporia: “memaafkan hanya yang-tak-termaafkan” (forgiveness forgives only the unforgivable).